Jokowi “Menyindir” Balik Anggun Cipta Sasmi dan Menjawab Keraguan
“Jangan dibandingkan satu (terpidana mati) dengan 18.000 jiwa meninggal akibat narkoba”. Pernyataan di atas merupakan penegasan sikap terbaru dari Presiden Joko “Jokowi” Widodo atas penolakan terhadap grasi terpidana mati. Pernyataan tersebut disampaikan seusai menghadiri acara silaturahmi dengan insan pers nasional.
Pernyataan-pernyataan serupa juga sudah seringkali disampaikan. Akan tetapi ternyata keseriusan Pemerintah yang ingin melindungi generasi dan anak bangsa dari kehancuran akibat narkoba tidak mendapat respon yang baik dari seluruh komponen anak negeri. Masih ada saja dari kelompok bagsa ini, baik secara perorangan maupun institusional mengecam sikap tegas Pemerintah. Bagi mereka, eksekusi mati terhadap para pelaku (baik bandar maupun pengedar narkoba) merupakan pengambilan paksa hak hidup dan sebagai sebuah tindakan yang mengabaikan nilai-nilai kemanusian.
Kontroversi Hukuman Mati
Kemarin malam (Senin, 27/04/2015) dalam program Debat di TV One, terjadi “perdebatan” antara pendukung dan penentang (anti) eksekusi mati terhadap terpidana mati kasus narkoba. Kelompok pendukung diwakili oleh Ketua Gerakaan Anti Narkotika (Granat), Henry Yosodiningrat, yang juga merupakan anggota DPR RI Fraksi Partai PDIP dan Dikrektur BNN, Beny Mamoto. Sedangkan kelompok penolak hukuman mati diwakili oleh Ketua LBH Jakarta, Alvon, dan seorang dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Dalam perdebatan itu terlihat jelas, bagaimana kelompok anti eksekusi mati ini mati-matian membela seorang Mary Jane Velloso (dan mungkin pula yang lain) - lepas dari ia sebagai pengedar atau hanya sebagai kurir - agar tidak dieksekusi mati. Bahkan secara lugas, Henry Yosodiningrat, mengingatkan bahwa janganlah karena nyawa seseorang yang telah melalui proses peradilan sampai pada level tertinggi dan dinyatakan terbukti secara meyakinkan bersalah dalam tindakan kejahatan narkotika, mereka tega “mempermalukan” negeri yang telah memberi hidup dan membesarkan mereka, di mata Internasional. Dan kelihatannya kelompok-kelompok penentang hukuman mati ini, terutama LSM-LSM yang hidup dan matinya mengharapkan dana donasi negara donor (dari luar negeri). Mereka seakan takut menyuarakan sikap untuk pula mendukung kebijakan Pemerintah, karena khawatir “dapur” mereka tidak lagi mengepul asap. Mereka berusaha berlindung di balik isu HAM bagi terpidana, sehingga lupa bahwa korban narkoba juga mempunyai hak yang sama untuk dilindungi dengan alasan HAM pula. Celakanya para korban itu adalah anak negeri sendiri, sementara para terpidana mati yang dibela mati-matian adalah warga negara asing, yang entah di negara asalnya cukup terkenal dan punya pengaruh dan kontribusi besar terhadap negaranya atau tidak. Kalau pun ada kontribusi dan pengaruh mereka terhadap negara asalnya, peduli apa kita?
Tadi malam, pada acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One, menjelang pelaksanaan eksekusi, pro kontra terhadap hukuman mati dan eksekusi mati terhadap para terpidana mati kasus narkoba masih saja riuh rendah. Seperti biasa, kelompok-kelompok penentang hukuman mati ini kembali mengulangi argumen yang sama untuk membela para terpidana mati agar tidak dieksekusi. Kelompok-kelompok ini dengan begitu gigih dan tanpa “malu-malu” menggunakan isu HAM dan otoritas pengambilan nyawa (hak hidup) oleh Sang Pencipta, mencoba mempengaruhi dan mempermainkan perasaan dan opini publik.
Penulis tidak ingin mengulas pendapat semua “pakar” yang hadir pada acara ILC TV One tadi malam, tapi hanya mengambil satu pendapat sebagai sampel. Atas argumen hanya Tuhan yang berhak mengambil nyawa seseorang, Mantan Jaksa Agung, Abdul Rahman Shaleh, secara berseloroh menyindir, bahwa meski para terpidana dihukum dengan cara dieksekusi oleh regu tembak, toh, tetap saja nyawa seseorang hanya Tuhan yang bisa mengambilnya (mematikan).
Di negara-negara asal terpidana yang akan dieksekusi mati, seperti Australia, Philipina, dan Perancis, muncul gerakan dan demonstrasi yang berpusat di kantor-kantor kedutaan besar Republik Indonesia (KBRI) untuk menyampaikan protes dan menentang hukuman mati. Begitu pula di Perancis. Turut pula bergabung dalam demonstrasi menentang Pemerintah Indonesia itu adalah seorang warga Perancis keturunan Indonesia, yang karena menikah dengan warga negara Perancis, maka “terpaksa” harus pindah dan bertukar status kewarganegaraannya.
Kegundahan Seorang Musisi yang Mantan WNI
Di tengah tekanan dari Pemerintah dan warga negara lain akibat warga negaranya ikut pula dieksekusi mati dan pula tekanan kelompok-kelompok kepentingan di dalam negeri, seorang warga negara Perancis kelahiran Indonesia, yang lahir dan besar melalui bumi dan air tanah pertiwi, dengan pongah mengirim surat terbuka kepada Presiden Jokowi. Ia dengan percaya diri, berdiri bagai seorang yang sangat tahu dan paham tentang HAM, “menceramahi” Presiden Jokowi. Ya, ia adalah Anggun Cipta Sasmi. Seorang musisi dan penyanyi rocker wanita, yang karena alasan ingin “mendunia” maka berpindah menjadi warga negara asing, itupun seelah “dinikahi” warga Perancis.
Mungkin karena Anggun C. Sasmi merasa bahwa dalam darahnya telah pula “teraliri” darah Perancis melalui suaminya, sehingga ia dengan enteng membela seorang terpidana mati, seorang bandar narkoba, Serge Atlaoui, dan lupa bahwa di negeri asal kedua orangtuanya, dalam sehari harus mengikhlaskan 50 jiwa meregang nyawa sia-sia karena narkoba. Menurutnya, menghukum seorang Serge Atlaoui, itu sama saja dengan membangunkan emosi yang sangat dalam di Eropa. Entah atas alasan dan logika mana, ia, Anggun C. Sasmi, mengklaim bahwa sentimen etnis Eropa akan tersulut bila Pemerintah Indonesia melanjutkan keputusan men-dor seorang Serge Atlaoui, yang bukan siapa-siapa di Eropa, tapi hanya seorang bandar narkoba, perusak masa depan generasi anak negeri.
Padahal seperti ia sendiri tegaskan dalam suratnya, bahwa ia sangat mengerti dengan dampak negatif narkoba, terutama - terhadap generasi anak negeri, yang sedang tumbuh menatap masa depan - di Indonesia. Tapi mengapa, ia, Anggun C. Sasmi hanya memilih seorang Serge Atlaoui, yang kebetulan pula seorang warga Pernacis yang ia bela? Sementara dalam gerbong terpidana yang akan dihukum mati masih ada warga dari negara lainnya (lihat suratnya di sini).
Jika demikian, ini adalah kerancuan dan sesat pikir yang coba dibangun dan ditularkan kepada orang lain. Celakanya, kerancuan dan sesat pikir itu, juga digunakan untuk mempengaruhi Presiden Jokowi, agar mau menganulir keputusannya mengeksekusi mati Serge Atlaoui. Ternyata, demi untuk menyenangkan sentimen “keeropaan” yang terpaksa melekat pada dirinya melalui suaminya, ia seakan menutup naluri dasarnya untuk sekedar merasa empati terhadap penderitaan generasi anak negeri. Alih-alih ingin menunjukkan kegalauan hatinya, karena seorang warga Perancis, Serge Atlaoui, yang turut pula akan dihukum mati, malah hanya menunjukkan “kelatahan” bodoh membela seseorang yang tidak pantas untuk dibela.
Jokowi Menyindir Balik dan Menjawab Keraguan
Seakan ingin membalas surat terbuka yang dikirimkan kepadanya, Presiden Jokowi, seusai menghadiri acara silaturahmi Dewan Pers Nasional, tadi malam (27/94/2015), menegaskan bahwa ancaman hukuman mati merupakan bentuk ketegasan Pemerintah Indonesia dalam memerangi kejahatan luar biasa narkoba. Dalam pandangan Presiden, narkoba telah merusak generasi bangsa, di mana dalam sehari merenggut nyawa anak negeri 50 jiwa, sehingga bagi Presiden, hukuman mati merupakan hal yang pantas dan sepadan atas akibat yang ditimbulkan oleh narkoba.
Bahkan secara tegas Presiden menantang semua kelompok yang menentang hukuman mati untuk pula berjalan-jalan ke tempat-tempat rehabilitasi kasus narkoba. Dengan datang dan menyaksikan langsung akibat narkoba bagi para pecandu dan penggunanya, mungkin akan terbuka mata hati dan juga bathinnya, bahkan sambil terbelalak, tanpa menyadari, kemudian, menyeletuk keluar kalimat dari mulutnya yang sedang menganga, kalaimat, “ooo begitu ya akibat narkoba!” Presiden berujar, “pergi ke tempat rehabilitasi, yang berguling, meregang, teriak, cari informasi tentang itu. Jangan dibandingkan satu (terpidana mati) dengan 18.000 (jiwa)”.
Dini hari tadi, (Rabu, 29/04/2015) sekitar pukul 00. 30 waktu setempat, di Nusakambangan, Jokowi membuktikan komitmennya, lebih memilih membela dan menyelamat anak negeri, generasi pelanjut, daripada mengikuti “ego” sekelompok orang atau kelompok-kelompok kepentingan, yang merasa “terancam” sumber pendanaannya, bila para terpidana mati benar-benar dieksekusi oleh para regu tembak. Meski masih ada pertanyaan yang tertinggal dari pelaksanaan eksekusi mati tahap kedua ini. Sedianya, yang akan menjalani prosesi eksekusi mati melalui regu tembak sebanyak 10 orang terpidana mati. Akan tetapi karena alasan salah seorang terpidana mati warga Perancis yang masih melakukan upaya hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menggugat pertimbangan penolakan grasi, dan juga seorang terpidana mati warga Philipina, atas permintaan Presidennya, karena ada “novum” baru, sehingga terpaksa ditunda pelaksanaan eksekusinya. Jadi yang “terlibat” dalam eksekusi mati dini hari tadi (Rabu, 29/04/2014) hanya delapan orang terpidana mati, termasuk dua “Bali Nine”.
Jangan juga ada pihak yang merasa ge’er atas penundaan ekseksui mati atas dua terpidana mati ini, khususnya warga Perancis. Penundaan itu tidak ada hubungannya dengan permintaan yang disampaikan melalui surat terbuka oleh seorang rocker itu maupun ancaman dari Presidennya. Melainkan hal itu dilakukan karena pertimbangan menghormati upaya hukum yang sedang dilakukan oleh para terpidana (Serge Atlaoui dan Mary Jane Velloso).
Kita berharap penunadaan itu tidak berlangsung lama. Jika tidak, dunia Internasional akan menilai bahwa Indonesia sedang menerapkan standar ganda (double standart). Indonesia sedang menjalankan politik diskriminatif dalam penegakkan hukum. Di satu sisi mengeksekusi delapan terpidana mati, sementara di pihak lain berusaha “menyelematkan” dua terpidana mati yang lain. Jangan sampai Pemerintah negara-negara yang warga negaranya telah dieksekusi mati, mempunyai stigma bahwa Pemerintah Indonesia tidak cukup “kredibel” dalam hal penegakkan hukum karena masih mengakomodir upaya-upaya mengulur-ulur waktu (buying time). Lebih jauh malah akan membuat Pemerintah yang warga negaranya telah dieksekusi merasa “dikhianati” sehingga memberikan reaksi balik yang tidak proporsional.
Menyikapi Reaksi Balik
Tentang reaksi itu, sepertinya sudah mulai nampak di depan mata. Pemerintah Australia, langsung memberikan reaksi mengecam pelaksanaan eksekusi mati terhadap dua warganya. Bahkan akan segera diikuti dengan menarik duta besarnya kembali ke Australia. Padahal sudah jauh-jauh hari mereka melakukan berbagai upaya, termasuk diplomasi donasi tsunami Aceh, toh pada akhirnya kandas di tangan Jokowi. Ini akan membuat perasaan PM Australia, seperti “tercampakkan”.
Hari-hari berikutnya kita pasti akan menyaksikan parade reaksi dari Pemerintah yang warga negaranya ikut pula dieksekusi mati dini hari tadi. Reaksi itu, baik berupa pernyataan sikap keberatan, mengecam, menarik duta besar mereka, (seperti akan dilakukan Australia dan juga Pemerintah Brasil ketika eksekusi tahap pertama berlangsung), maupun pada tahap yang lebih jauh memutuskan hubungan diplomatik. Semua dampak itu, hendaknya sudah diperhitungkan secara matang sehingga Pemerintah dapat mempersiapkan langkah-langkah preventif dan antisipatif lebih awal. Kita juga percaya bahwa semua resiko dan dampak dari keputusan untuk tetap melaksanakan eksekusi mati sudah dipersiapkan sejak awal. Pemerintah juga pasti telah membuat simulasi dari skenario yang akan dijalankan setelah pelaksanaan eksekusi mati. Dan semua itu, muaranya hanya satu semata-mata menyelamatkan generasi anak negeri, dan lebih jauh mempertahankan wibawa dan martabat Indonesia di mata dunia Internasional bahwa kita memiliki kedaulatan hukum yang harus pula dihormati.
Pemerintah juga tidak perlu memberikan reaksi yang berlebihan atas kemungkinan reaksi dari Pemerintah yang warga negaranya telah dieksekusi mati, apalagi harus mengambil sikap ofensif. Begitu pula tidak perlu juga memperlihatkan sikap defensif. Semuanya harus diletakkan pada konteks yang proporsional dan wajar.
Yaa sudah, begitu saja pendapat penulis, selamat membaca, …
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 29 April 2015(sumber)
Kontroversi Hukuman Mati
Kemarin malam (Senin, 27/04/2015) dalam program Debat di TV One, terjadi “perdebatan” antara pendukung dan penentang (anti) eksekusi mati terhadap terpidana mati kasus narkoba. Kelompok pendukung diwakili oleh Ketua Gerakaan Anti Narkotika (Granat), Henry Yosodiningrat, yang juga merupakan anggota DPR RI Fraksi Partai PDIP dan Dikrektur BNN, Beny Mamoto. Sedangkan kelompok penolak hukuman mati diwakili oleh Ketua LBH Jakarta, Alvon, dan seorang dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Dalam perdebatan itu terlihat jelas, bagaimana kelompok anti eksekusi mati ini mati-matian membela seorang Mary Jane Velloso (dan mungkin pula yang lain) - lepas dari ia sebagai pengedar atau hanya sebagai kurir - agar tidak dieksekusi mati. Bahkan secara lugas, Henry Yosodiningrat, mengingatkan bahwa janganlah karena nyawa seseorang yang telah melalui proses peradilan sampai pada level tertinggi dan dinyatakan terbukti secara meyakinkan bersalah dalam tindakan kejahatan narkotika, mereka tega “mempermalukan” negeri yang telah memberi hidup dan membesarkan mereka, di mata Internasional. Dan kelihatannya kelompok-kelompok penentang hukuman mati ini, terutama LSM-LSM yang hidup dan matinya mengharapkan dana donasi negara donor (dari luar negeri). Mereka seakan takut menyuarakan sikap untuk pula mendukung kebijakan Pemerintah, karena khawatir “dapur” mereka tidak lagi mengepul asap. Mereka berusaha berlindung di balik isu HAM bagi terpidana, sehingga lupa bahwa korban narkoba juga mempunyai hak yang sama untuk dilindungi dengan alasan HAM pula. Celakanya para korban itu adalah anak negeri sendiri, sementara para terpidana mati yang dibela mati-matian adalah warga negara asing, yang entah di negara asalnya cukup terkenal dan punya pengaruh dan kontribusi besar terhadap negaranya atau tidak. Kalau pun ada kontribusi dan pengaruh mereka terhadap negara asalnya, peduli apa kita?
Tadi malam, pada acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One, menjelang pelaksanaan eksekusi, pro kontra terhadap hukuman mati dan eksekusi mati terhadap para terpidana mati kasus narkoba masih saja riuh rendah. Seperti biasa, kelompok-kelompok penentang hukuman mati ini kembali mengulangi argumen yang sama untuk membela para terpidana mati agar tidak dieksekusi. Kelompok-kelompok ini dengan begitu gigih dan tanpa “malu-malu” menggunakan isu HAM dan otoritas pengambilan nyawa (hak hidup) oleh Sang Pencipta, mencoba mempengaruhi dan mempermainkan perasaan dan opini publik.
Penulis tidak ingin mengulas pendapat semua “pakar” yang hadir pada acara ILC TV One tadi malam, tapi hanya mengambil satu pendapat sebagai sampel. Atas argumen hanya Tuhan yang berhak mengambil nyawa seseorang, Mantan Jaksa Agung, Abdul Rahman Shaleh, secara berseloroh menyindir, bahwa meski para terpidana dihukum dengan cara dieksekusi oleh regu tembak, toh, tetap saja nyawa seseorang hanya Tuhan yang bisa mengambilnya (mematikan).
Di negara-negara asal terpidana yang akan dieksekusi mati, seperti Australia, Philipina, dan Perancis, muncul gerakan dan demonstrasi yang berpusat di kantor-kantor kedutaan besar Republik Indonesia (KBRI) untuk menyampaikan protes dan menentang hukuman mati. Begitu pula di Perancis. Turut pula bergabung dalam demonstrasi menentang Pemerintah Indonesia itu adalah seorang warga Perancis keturunan Indonesia, yang karena menikah dengan warga negara Perancis, maka “terpaksa” harus pindah dan bertukar status kewarganegaraannya.
Kegundahan Seorang Musisi yang Mantan WNI
Di tengah tekanan dari Pemerintah dan warga negara lain akibat warga negaranya ikut pula dieksekusi mati dan pula tekanan kelompok-kelompok kepentingan di dalam negeri, seorang warga negara Perancis kelahiran Indonesia, yang lahir dan besar melalui bumi dan air tanah pertiwi, dengan pongah mengirim surat terbuka kepada Presiden Jokowi. Ia dengan percaya diri, berdiri bagai seorang yang sangat tahu dan paham tentang HAM, “menceramahi” Presiden Jokowi. Ya, ia adalah Anggun Cipta Sasmi. Seorang musisi dan penyanyi rocker wanita, yang karena alasan ingin “mendunia” maka berpindah menjadi warga negara asing, itupun seelah “dinikahi” warga Perancis.
Mungkin karena Anggun C. Sasmi merasa bahwa dalam darahnya telah pula “teraliri” darah Perancis melalui suaminya, sehingga ia dengan enteng membela seorang terpidana mati, seorang bandar narkoba, Serge Atlaoui, dan lupa bahwa di negeri asal kedua orangtuanya, dalam sehari harus mengikhlaskan 50 jiwa meregang nyawa sia-sia karena narkoba. Menurutnya, menghukum seorang Serge Atlaoui, itu sama saja dengan membangunkan emosi yang sangat dalam di Eropa. Entah atas alasan dan logika mana, ia, Anggun C. Sasmi, mengklaim bahwa sentimen etnis Eropa akan tersulut bila Pemerintah Indonesia melanjutkan keputusan men-dor seorang Serge Atlaoui, yang bukan siapa-siapa di Eropa, tapi hanya seorang bandar narkoba, perusak masa depan generasi anak negeri.
Padahal seperti ia sendiri tegaskan dalam suratnya, bahwa ia sangat mengerti dengan dampak negatif narkoba, terutama - terhadap generasi anak negeri, yang sedang tumbuh menatap masa depan - di Indonesia. Tapi mengapa, ia, Anggun C. Sasmi hanya memilih seorang Serge Atlaoui, yang kebetulan pula seorang warga Pernacis yang ia bela? Sementara dalam gerbong terpidana yang akan dihukum mati masih ada warga dari negara lainnya (lihat suratnya di sini).
Jika demikian, ini adalah kerancuan dan sesat pikir yang coba dibangun dan ditularkan kepada orang lain. Celakanya, kerancuan dan sesat pikir itu, juga digunakan untuk mempengaruhi Presiden Jokowi, agar mau menganulir keputusannya mengeksekusi mati Serge Atlaoui. Ternyata, demi untuk menyenangkan sentimen “keeropaan” yang terpaksa melekat pada dirinya melalui suaminya, ia seakan menutup naluri dasarnya untuk sekedar merasa empati terhadap penderitaan generasi anak negeri. Alih-alih ingin menunjukkan kegalauan hatinya, karena seorang warga Perancis, Serge Atlaoui, yang turut pula akan dihukum mati, malah hanya menunjukkan “kelatahan” bodoh membela seseorang yang tidak pantas untuk dibela.
Jokowi Menyindir Balik dan Menjawab Keraguan
Seakan ingin membalas surat terbuka yang dikirimkan kepadanya, Presiden Jokowi, seusai menghadiri acara silaturahmi Dewan Pers Nasional, tadi malam (27/94/2015), menegaskan bahwa ancaman hukuman mati merupakan bentuk ketegasan Pemerintah Indonesia dalam memerangi kejahatan luar biasa narkoba. Dalam pandangan Presiden, narkoba telah merusak generasi bangsa, di mana dalam sehari merenggut nyawa anak negeri 50 jiwa, sehingga bagi Presiden, hukuman mati merupakan hal yang pantas dan sepadan atas akibat yang ditimbulkan oleh narkoba.
Bahkan secara tegas Presiden menantang semua kelompok yang menentang hukuman mati untuk pula berjalan-jalan ke tempat-tempat rehabilitasi kasus narkoba. Dengan datang dan menyaksikan langsung akibat narkoba bagi para pecandu dan penggunanya, mungkin akan terbuka mata hati dan juga bathinnya, bahkan sambil terbelalak, tanpa menyadari, kemudian, menyeletuk keluar kalimat dari mulutnya yang sedang menganga, kalaimat, “ooo begitu ya akibat narkoba!” Presiden berujar, “pergi ke tempat rehabilitasi, yang berguling, meregang, teriak, cari informasi tentang itu. Jangan dibandingkan satu (terpidana mati) dengan 18.000 (jiwa)”.
Dini hari tadi, (Rabu, 29/04/2015) sekitar pukul 00. 30 waktu setempat, di Nusakambangan, Jokowi membuktikan komitmennya, lebih memilih membela dan menyelamat anak negeri, generasi pelanjut, daripada mengikuti “ego” sekelompok orang atau kelompok-kelompok kepentingan, yang merasa “terancam” sumber pendanaannya, bila para terpidana mati benar-benar dieksekusi oleh para regu tembak. Meski masih ada pertanyaan yang tertinggal dari pelaksanaan eksekusi mati tahap kedua ini. Sedianya, yang akan menjalani prosesi eksekusi mati melalui regu tembak sebanyak 10 orang terpidana mati. Akan tetapi karena alasan salah seorang terpidana mati warga Perancis yang masih melakukan upaya hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menggugat pertimbangan penolakan grasi, dan juga seorang terpidana mati warga Philipina, atas permintaan Presidennya, karena ada “novum” baru, sehingga terpaksa ditunda pelaksanaan eksekusinya. Jadi yang “terlibat” dalam eksekusi mati dini hari tadi (Rabu, 29/04/2014) hanya delapan orang terpidana mati, termasuk dua “Bali Nine”.
Jangan juga ada pihak yang merasa ge’er atas penundaan ekseksui mati atas dua terpidana mati ini, khususnya warga Perancis. Penundaan itu tidak ada hubungannya dengan permintaan yang disampaikan melalui surat terbuka oleh seorang rocker itu maupun ancaman dari Presidennya. Melainkan hal itu dilakukan karena pertimbangan menghormati upaya hukum yang sedang dilakukan oleh para terpidana (Serge Atlaoui dan Mary Jane Velloso).
Kita berharap penunadaan itu tidak berlangsung lama. Jika tidak, dunia Internasional akan menilai bahwa Indonesia sedang menerapkan standar ganda (double standart). Indonesia sedang menjalankan politik diskriminatif dalam penegakkan hukum. Di satu sisi mengeksekusi delapan terpidana mati, sementara di pihak lain berusaha “menyelematkan” dua terpidana mati yang lain. Jangan sampai Pemerintah negara-negara yang warga negaranya telah dieksekusi mati, mempunyai stigma bahwa Pemerintah Indonesia tidak cukup “kredibel” dalam hal penegakkan hukum karena masih mengakomodir upaya-upaya mengulur-ulur waktu (buying time). Lebih jauh malah akan membuat Pemerintah yang warga negaranya telah dieksekusi merasa “dikhianati” sehingga memberikan reaksi balik yang tidak proporsional.
Menyikapi Reaksi Balik
Tentang reaksi itu, sepertinya sudah mulai nampak di depan mata. Pemerintah Australia, langsung memberikan reaksi mengecam pelaksanaan eksekusi mati terhadap dua warganya. Bahkan akan segera diikuti dengan menarik duta besarnya kembali ke Australia. Padahal sudah jauh-jauh hari mereka melakukan berbagai upaya, termasuk diplomasi donasi tsunami Aceh, toh pada akhirnya kandas di tangan Jokowi. Ini akan membuat perasaan PM Australia, seperti “tercampakkan”.
Hari-hari berikutnya kita pasti akan menyaksikan parade reaksi dari Pemerintah yang warga negaranya ikut pula dieksekusi mati dini hari tadi. Reaksi itu, baik berupa pernyataan sikap keberatan, mengecam, menarik duta besar mereka, (seperti akan dilakukan Australia dan juga Pemerintah Brasil ketika eksekusi tahap pertama berlangsung), maupun pada tahap yang lebih jauh memutuskan hubungan diplomatik. Semua dampak itu, hendaknya sudah diperhitungkan secara matang sehingga Pemerintah dapat mempersiapkan langkah-langkah preventif dan antisipatif lebih awal. Kita juga percaya bahwa semua resiko dan dampak dari keputusan untuk tetap melaksanakan eksekusi mati sudah dipersiapkan sejak awal. Pemerintah juga pasti telah membuat simulasi dari skenario yang akan dijalankan setelah pelaksanaan eksekusi mati. Dan semua itu, muaranya hanya satu semata-mata menyelamatkan generasi anak negeri, dan lebih jauh mempertahankan wibawa dan martabat Indonesia di mata dunia Internasional bahwa kita memiliki kedaulatan hukum yang harus pula dihormati.
Pemerintah juga tidak perlu memberikan reaksi yang berlebihan atas kemungkinan reaksi dari Pemerintah yang warga negaranya telah dieksekusi mati, apalagi harus mengambil sikap ofensif. Begitu pula tidak perlu juga memperlihatkan sikap defensif. Semuanya harus diletakkan pada konteks yang proporsional dan wajar.
Yaa sudah, begitu saja pendapat penulis, selamat membaca, …
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 29 April 2015(sumber)
0 Response to "Jokowi “Menyindir” Balik Anggun Cipta Sasmi dan Menjawab Keraguan"
Post a Comment